ASDEKI.org – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), Khoiri Soetomo, mengajukan permohonan kepada pemerintah agar tidak menerapkan kebijakan yang bersifat diskriminatif antara moda transportasi udara dan penyeberangan.
“Saat ini penting memberikan perhatian yang setara kepada angkutan penyeberangan, yang mayoritas penggunanya berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah, sama seperti moda transportasi lainnya,” kata Khoiri melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (8/3)
Khoiri juga menyampaikan bahwa tarif angkutan penyeberangan di Indonesia saat ini merupakan salah satu yang terendah di dunia jika dibandingkan dengan moda transportasi sejenis di negara lain.
Ia mengingatkan bahwa kondisi ini tidak dapat dibiarkan berlanjut, mengingat angkutan penyeberangan memiliki peran ganda sebagai sarana transportasi dan infrastruktur yang mendukung berbagai moda transportasi lainnya.
Utamakan keselamatan penumpang
Selain itu, aspek keselamatan juga menjadi perhatian utama jika industri ini terus menghadapi tekanan biaya operasional yang tidak sebanding dengan tarif yang berlaku.
Khoiri menjelaskan bahwa jika pemerintah memberikan insentif kepada maskapai penerbangan, seperti pemotongan pajak dan biaya bandara, maka angkutan penyeberangan juga seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama.
Ia menegaskan bahwa tarif penyeberangan saat ini sangat rendah dan mengalami kekurangan dari perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) sebesar 31,8%.
Minta insentif angkutan penyeberangan
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk memberikan insentif berupa keringanan biaya kepelabuhanan, perpajakan, dan subsidi BBM, mengingat pentingnya angkutan penyeberangan sebagai infrastruktur transportasi di negara kepulauan dengan 17.000 pulau.
Khoiri juga menyoroti keputusan pemerintah yang menunda pemberlakuan penyesuaian tarif angkutan penyeberangan sebesar 5% yang seharusnya diberlakukan pada 1 November 2024 sesuai KM 131 Tahun 2024 tertanggal 18 Oktober 2024.
Keputusan tersebut, kata Khoiri, dilakukan secara sepihak oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub tanpa melibatkan pemangku kepentingan lainnya dan tanpa kejelasan batas waktu.
“Penundaan ini bertentangan dengan PM 66 Tahun 2019 tentang Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan. Seharusnya, jika pemerintah ingin menunda atau membatalkan, harus melalui tahapan yang jelas dan dituangkan dalam peraturan baru. Penyesuaian tarif yang hanya 5% ini sebenarnya berdampak sangat kecil bagi konsumen. Misalnya, di lintasan Ketapang-Gilimanuk, tarif penumpang hanya naik Rp500, sedangkan tarif kendaraan barang naik Rp23.000. Jika dihitung per kilogram muatan, misalnya beras 30 ton, kenaikan harga hanya Rp0,76 per kg atau 0,007% dari harga Rp10.000 per kg. Jadi, dampaknya sangat kecil,” papar Khoiri.
Kelancaran transportasi laut pastikan distribusi logistik
Dia juga menegaskan bahwa angkutan penyeberangan adalah sarana transportasi yang mayoritas penggunanya berasal dari kalangan menengah ke bawah, dengan jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan moda angkutan udara yang sebagian besar digunakan oleh masyarakat kelas atas. Namun, perhatian pemerintah terhadap sektor ini dinilai masih sangat minim.
“Selama ini, sektor angkutan penyeberangan kurang mendapat perhatian. Padahal, transportasi yang baik akan menyelamatkan masyarakat kelas bawah sekaligus memastikan kelancaran distribusi logistik di seluruh wilayah Indonesia,” tegas Khoiri.
“Oleh karena itu, kami meminta pemerintah untuk memberikan insentif bagi angkutan penyeberangan, baik dalam bentuk pengurangan biaya kepelabuhanan, PNBP, perpajakan, bunga perbankan, maupun subsidi BBM yang berbeda dari moda transportasi lain,” tambahnya.
Sebagai penutup, Khoiri berharap agar pemerintah segera memberlakukan tarif penyeberangan yang telah ditunda setelah masa angkutan Lebaran berakhir, demi keberlanjutan layanan dan keselamatan transportasi penyeberangan di Indonesia.