ASDEKI.org – Para pelaku usaha sangat membutuhkan dukungan pemerintah agar produknya memiliki daya saing di luar negeri dan menghadapi kebijakan resiprokal Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Khairul Mahalili berharap, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap seluruh kedutaan besar, konsulat jenderal, konsul yang ada di luar negeri untuk tidak hanya berutak-atik menyangkut birokrasi.
“Tapi juga mereka harus menjadi agent of marketing. Diplomasi ekonomi harus jalan. Bila perlu enam bulan tidak ada penjualan minimum satu produk di tiap konsul, konsulat, kedutaan itu tarik. Berarti ketidakmampuan dalam menjalankan misinya,” kata Khairul dalam Coffeenomics Discussion di Luxton Hotel, Bandung, Selasa (29/4)
Lalu, pemerintah pusat, beserta provinsi dan kabupaten/kota, diharapkan juga melakukan monev juga reformasi total cost logistik, baik itu darat, laut maupun udara.

“Sehingga produk Indonesia, khususnya Jawa Barat bisa berdaya saing,” ucapnya.
Untuk diversifikasi negara tujuan ekspor, GPEI kata dia sudah melakukannya, antaranya di Afrika. Tetapi kuncinya kata dia, tetap bagaimana menekan biaya tambahan supaya produk berdaya saing.
“Seperti Ethiopia beserta sekelilingnya. Kemudian juga kita punya showcase produk Indonesia di Uzbekistan. Asean juga kita belum maksimal dan lokal kita juga cukup besar. Lihat produk China, dari ujung kaki sampai ujung rambut, mana ada yang bukan produk China. Karena berdaya saing, cost murah,” tandasnya.
Dalam acara Coffeenomic Discussion Menuju 4 Dekade Bisnis Indonesia bertajuk Menakar Ekspor Jabar, Daya Tahan Sektor Andalan & Masa Depan Sektor Anyar di Tengah Perang Tarif Global, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Barat Nining Yuliastiani menjelaskan dari sejumlah langkah proaktif yang dilakukan Pemprov Jabar dan pelaku usaha dalam pemetaan terkait potensi dampak kebijakan resiprokal, didapati bahwa sudah ada skema yang harus dilakukan.
Baik penerapan penuh resiprokal sebesar 32 persen, maupun yang sudah terjadi sekarang dengan angka 10 persen.
“Disitu kami melakukan upaya tertentu. Kemudian kami berusaha melakukan identifikasi produk, identifikasi negara tujuan yang selama ini sudah terjadi di Jawa Barat,” ujar Nining.
Hasilnya, diversifikasi negara tujuan ekspor menjadi peluang yang sangat memungkinkan dilakukan oleh industri asal Jabar.
“Bagaimana mereka bisa beradaptasi terhadap perkembangan terbaru ini, untuk nanti diversifikasi negara tujuan ekspor atau mengisi peluang pasar domestik dan antar pulau, karena peluangnya besar untuk produk Jawa Barat,” ucapnya.
Produk Jawa Barat kata dia, terutama kebutuhan sehari-hari, kemudian yang berdampak langsung karena posisinya kebanyakan produksi padat karya masih memiliki peluang merambah market anyar.
“Dalam posisi tersebut, kami tetap optimistis apabila kemudian kita tetap melakukan inovasi. Menguatkan daya saing. Kami Pemprov Jabar tentunya akan terus berupaya dengan pelaku usaha, bagaimana meningkatkan daya saing UMKM,” kata dia.
Pemprov Jabar kata dia, juga akan melakukan fasilitasi dengan pendampingan, meningkatkan sertifikasi produk supaya diterima global, juga bagaimana pelaku usaha bisa mengakses pembiayaan lebih mudah.
“Nanti akan lakukan komunikasi intens dan tidak kalah penting, melakukan promosi bersama-sama sesuai kebutuhan yang ada. Pada prinsipnya kami tetap optimis, dengan kondisi kayak gini kita malah bisa lebih berinovasi untuk mencari peluang baru. Apalagi Jawa Barat ini punya potensi yang sangat besar. Belum tereksplor dengan baik karena hilirisasi kita belum optimal,” paparnya.
Kepala Deputi Bank Indonesia Perwakilan Jawa Barat Muslimin Anwar juga menilai, meski pertumbuhan ekonomi makro meleset dari prakiraan. Namun menurutnya masih cukup kuat.
“Demikian juga di Jawa Barat, kami juga merasa bahwa tetap kuat. Namun tidak sekuat sebelumnya. Kami masih yakin ada di 4,5-5,3 persen. Kami sudah melakukan beberapa analisis, baik dampak ekstrem. Apabila elastisitasnya mencapai atau seluruh 32 persen resiprokal itu diterapkan maupun di moderat apabila efektifnya 22 persen,” kata dia.
Maka dari itu, pihaknya juga mengusulkan melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor selain Amerika Serikat.
“Namun tentunya selektif kepada negara yang sudah mempunyai hubungan, misalnya perbankan dengan kita. Seperti di Eropa, kita bisa melakukan AIsepa. Australia, Tiongkok, India tentunya Asean,” ucapnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat Darwis Sitorus menjelaskan, sejauh ini belum ada riak berarti dampak resiprokal di Jabar.
Meski demikian, pemerintah dan stakeholders terkait kata dia, tetap harus melakukan mitigasi guna menjaga stabilitas ekonomi.
“Kita tinggal melihat bagaimana? Kita merekam. Untuk membuktikan program ini sudah dilakukan apa enggak. Tentunya terekam dari hasil kinerja indikator makro seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi. Tapi dari hasil evaluasi, belum ya. Masih belum kelihatan riak yang signifikan. Jadi dari sisi kinerja ekonomi, saya kira masih aman,” terangnya.